Pengelolaan Limbah B3 Jurnal
TATA CARA PENGELOLAAN LIMBAH B3
Admin dlh | 30 September 2019 | 224773 kali
Pengelolaan Limbah B3 merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan pelaku pengelolaan limbah B3 antara lain :
Mayoritas pabrik tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori limbah B3, sehingga limbah dibuang begitu saja ke sistem perairan tanpa adanya proses pengolahan. Pada dasarnya prinsip pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat pencemar yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah dipisahkan atau konsentrat belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang setiap saat mengancam kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu limbah B3 perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.
Upaya pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian atau dekomposisi saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Peraturan pengangkutan yang menjadi acuan adalah peraturan pengangkutan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektifitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
Beberapa metode penanganan limbah B3 yang umum diterapkan adalah sebagai berikut:
Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan tergantung jenis dan kadar limbahnya.
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia yang umum dilakukan adalah stabilisasi/ solidifikasi. Stabilisasi/ solidifikasi adalah proses mengubah bentuk fisik dan/atau senyawa kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau zat pereaksi tertentu untuk memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum dibuang. Definisi stabilisasi adalah proses pencampuran limbah dengan bahan tambahan dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur, dan bahan termoplastik.
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Apabila konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam dapat dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini dilakukan dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau natrium hidroksida (NaOH) dengan memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum. Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali misalnya air kapur, sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).
Presipitasi adalah pengurangan bahan-bahan terlarut dengan cara menambahkan senyawa kimia tertentu yang larut dan dapat menyebabkan terbentuknya padatan. Dalam pengolahan air limbah, presipitasi digunakan untuk menghilangkan logam berat, sufat, fluoride, dan fosfat. Senyawa kimia yang biasa digunakan adalah lime, dikombinasikan dengan kalsium klorida, magnesium klorida, alumunium klorida, dan garam – garam besi. Adanya complexing agent, misalnya NTA (Nitrilo Triacetic Acid) atau EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), menyebabkan presipitasi tidak dapat terjadi. Oleh karena itu, kedua senyawa tersebut harus dihancurkan sebelum proses presipitasi akhir dari seluruh aliran, dengan penambahan garam besi dan polimer khusus atau gugus sulfida yang memiliki karakteristik pengendapan yang baik. Pengendapan fosfat, terutama pada limbah domestik, dilakukan untuk mencegah eutrophicationdari permukaan. Presipitasi fosfat dari sewage dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu penambahan slaked lime, garam besi, atau garam alumunium.
Koagulasi dan Flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Proses koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan yang tersuspensi koloid yang sangat halus didalam air limbah, menjadi gumpalan-gumpalan yang dapat diendapkan, disaring, atau diapungkan.
Beberapa kelebihan proses pengolahan kimia antara lain dapat menangani hampir seluruh polutan anorganik, tidak terpengaruh oleh polutan yang beracun atau toksik, dan tidak tergantung pada perubahan konsentrasi. Pengolahan kimia dapat meningkatkan jumlah garam pada effluent, meningkatkan jumlah lumpur sehingga memerlukan bahan kimia tambahan akibatnya biaya pengolahan menjadi mahal.
Sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, dilakukan penyisihan terhadap bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung. Penyaringan atau screening merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik misalnya fenol dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal.
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam limbah, sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada sifat pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
Metode insinerasi atau pembakaran dapat diterapkan untuk memperkecil volume limbah B3. Namun saat melakukan pembakaran perlu dilakukan pengendalian agar gas beracun hasil pembakaran tidak mencemari udara. Pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat, terutama untuk mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Ukuran, desain dan spesifikasi insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik dan jumlah limbah yang akan diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi.
Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini bukan solusi terakhir dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas.
Kelebihan metode pembakaran adalah metode ini merupakan metode hemat uang di bidang transportasi dan tidak menghasilkan jejak karbon yang dihasilkan transport seperti pembuangan darat. Menghilangkan 10% dari jumlah limbah cukup banyak membantu mengurangi beban tekanan pada tanah. Rencana pembakaran waste-to-energy (WTE) juga memberikan keuntungan yang besar dimana limbah normal maupun limbah B3 yang dibakar mampu menghasilkan listrik yang dapat berkontribusi pada penghematan ongkos. Pembakaran 250 ton limbah per hari dapat memproduksi 6.5 megawatt listrik sehari (berharga $3 juta per tahun).
Kerugian metode pembakaran adalah adanya biaya tambahan dalam pembangunan instalasi pembakaran limbah. Selain itu pembakaran limbah juga menghasilkan emisi gas yang memberikan efek rumah kaca. Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi atau heating value limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang berkembang dewasa saat ini dikenal dengan istilah bioremediasi dan fitoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3. Sedangkan fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi pencemaran oleh limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih murah dibandingkan metode kimia atau fisik. Namun, proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses bioremediasi dan fitoremediasi merupakan proses alami sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar. Selain itu, karena menggunakan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di dalam ekosistem.
Metode Pembuangan Limbah B3
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang integral terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan antara tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang diperuntukkan khusus bagi limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkonsentrasi dan mengendap di dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara.
Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus dengan pengamanan tingkat tinggi. Pada metode pembuangan secure landfill, limbah B3 dimasukkan kedalam drum atau tong-tong, kemudian dikubur dalamlandfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran limbah B3. Landfill harus dilengkapi peralatan monitoring yang lengkap untuk mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Metode secure landfillmerupakan metode yang memiliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.
%PDF-1.7 %¡³Å× 1 0 obj <> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <> endobj 4 0 obj <>/MediaBox[ 0 0 595.4 842]/Parent 2 0 R /Resources<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI]>>/StructParents 116/Tabs/S/Type/Page>> endobj 5 0 obj <>stream xœ½}Rª´PyR·UZ©¤¨Š4/e“»õÓ'ïÿ”Ü<}b§é’¦�ÌzqþôɳU¢²äüãÓ'*ÉÌ¿*)Í \Ù&矞>É’KøøóÓ'¿Íþ{^Ïž¿›·³óùB7³_ßÏ«Ùë¹jf/ÿg¾PÙìùüÉùOOŸü` ÿíahè ¥ó´F#yÔmª´§v7_ä³!®ž¥�ºmQ�Q—?æ6¥NGdy– i?ïÒÇÜ®Îǘ©u›6ÍF¨zÌm•6ÿØcªðã\©Ùäô>îæ‹jv˜«j¶¤?U>»FÝüøä1>Z|š!|¾Í²ê»Ç£\çYªë;ƒuž§Ù A³Ÿ�›[`b9Kô\³X«á#{LŒe¨?¥u™¶Ã» µŸà·†ÿèË8ú�¥�G~¡Š´¶¤×ïæåì�qè?'(ÛŠ¤lP}L)•‘ò0‹GݦJË¡m’,ÍŠä|e‚HQ4_¿cÑÛ±iÒú$Ký›}[f6‹€�JàJf7úø'±�L=š2-›É� @¼ªÖ©ªqU87ùáí÷ɳ‘dëÅn¿ß}:žouª•N*�ff/Uå[0mdÒˆ0-öEk&î,ÃF�Iðá»TuÚÈ]†äfà+exáˆÍ�¢´ù ±8Í¢�“ô‰hªJë2)K�Æsc“¿Ïµ¦0w—è^aŒ»?Àçҿ㧗=6�ŽXB �¬%ª² >‘~«T†#j@ðl<Ë2í•Üb�S²4oÍ?ƒs;0-uoÊ€ªçU*Ìc@Û“g¿€ž¿ýþõË$³ºìÓý" ¸%ͨ‹‚ç“Š×à.�Á6oàá9êÜfõìÁs“øûi?ÀÐ_Lu0û«ùžÏZh&éâ8€;_´³ô+x‚ 8”'Æg›=”]ÿ×8˜b‡@ñ%|ü ï ¨Ofÿ¾ž×£Žrȼ´w7¿M¸�]nvyÿÚìùŽ!8D^ò6–MÈ„ï-¶f>RéVæÊs£""Þî�‡kÞ¬wÄ^b¨{!æü
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono bersama Pj. Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin...
Golongan limbah B3 ini sesuai dengan namanya merupakan bahan limbah berbahaya dan beracun yang mudah terbakar, meledak, korosif, mengandung racun, bersifat reaktif, dan menimbulkan infeksi. Limbah dengan label bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan unsur atau zat, atau energi, dan komponen lain yang memiliki kemampuan untuk mencemari atau bahkan melakukan kerusakan terhadap lingkungan, dan juga dapat membahayakan dari segi kesehatan serta kondisi normal manusia, bahkan memiliki kemampuan untuk menimbulkan kematian kepada makhluk hidup seperti tumbuhan dan hewan.
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah jenis limbah yang memiliki potensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaannya memerlukan perhatian khusus untuk mencegah risiko yang mungkin timbul. Layanan pengelolaan limbah B3 memainkan peran penting dalam proses ini. Berikut adalah beberapa manfaat utama dari layanan pengelolaan limbah B3:
1. Perlindungan Kesehatan Masyarakat
Limbah B3 dapat mengandung bahan kimia berbahaya seperti asbes, merkuri, atau bahan radioaktif yang dapat mengancam kesehatan manusia jika tidak ditangani dengan benar. Layanan pengelolaan limbah B3 memastikan bahwa limbah tersebut dikelola dengan prosedur yang aman dan sesuai standar, mengurangi risiko pencemaran udara, tanah, dan air yang dapat memengaruhi kesehatan masyarakat.
2. Perlindungan Lingkungan
Pengelolaan limbah B3 yang efektif mengurangi potensi pencemaran lingkungan. Limbah B3 yang tidak diolah dengan baik dapat menyebabkan kontaminasi tanah dan air, serta merusak ekosistem. Layanan pengelolaan limbah B3 menggunakan teknologi dan metode yang dirancang untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti proses daur ulang atau metode pembuangan yang aman.
3. Kepatuhan Terhadap Regulasi
Regulasi terkait limbah B3 sangat ketat dan melibatkan berbagai peraturan dari pemerintah. Dengan menggunakan layanan pengelolaan limbah B3, perusahaan atau individu dapat memastikan bahwa mereka mematuhi semua peraturan dan standar yang berlaku. Kepatuhan ini penting untuk menghindari sanksi hukum atau denda yang dapat dikenakan jika limbah B3 tidak dikelola dengan benar.
4. Efisiensi Operasional
Mengelola limbah B3 secara internal dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan, terutama dalam hal sumber daya dan biaya. Layanan pengelolaan limbah B3 menyediakan solusi yang efisien dengan mengelola limbah secara profesional, memungkinkan perusahaan untuk fokus pada inti bisnis mereka tanpa harus mengkhawatirkan masalah pengelolaan limbah.
5. Pengurangan Risiko Kesehatan dan Keamanan
Layanan pengelolaan limbah B3 memiliki staf yang terlatih dalam menangani bahan berbahaya dan beracun. Mereka menggunakan peralatan dan teknik khusus untuk menangani dan mengolah limbah dengan aman. Ini mengurangi risiko kecelakaan dan paparan yang dapat terjadi jika limbah dikelola oleh pihak yang tidak berpengalaman.
6. Dukungan untuk Praktik Berkelanjutan
Layanan pengelolaan limbah B3 sering kali mencakup praktik berkelanjutan, seperti daur ulang atau penggunaan kembali bahan. Ini tidak hanya membantu mengurangi volume limbah yang harus dibuang, tetapi juga mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan mengurangi jejak lingkungan secara keseluruhan.
7. Peningkatan Citra Perusahaan
Perusahaan yang menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan limbah B3 dengan menggunakan layanan profesional dapat meningkatkan citra mereka di mata publik dan pelanggan. Tindakan ini menunjukkan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dapat memberikan keunggulan kompetitif di pasar.
8. Kemudahan dalam Pelaporan
Layanan pengelolaan limbah B3 sering kali menyediakan layanan pelaporan yang lengkap, membantu perusahaan dalam dokumentasi dan pelaporan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Ini mempermudah proses audit dan memastikan bahwa semua data terkait pengelolaan limbah tercatat dengan baik.
Perusahaan pengelola limbah B3 sering kali menggunakan teknologi canggih untuk mengelola dan mengolah limbah. Teknologi ini dapat mencakup metode pemrosesan terbaru yang lebih efisien dan ramah lingkungan, yang tidak selalu tersedia bagi perusahaan yang menangani limbah secara mandiri.
Manfaat layanan pengelolaan limbah B3 meliputi perlindungan kesehatan masyarakat dan lingkungan, kepatuhan terhadap regulasi, efisiensi operasional, pengurangan risiko, dukungan untuk praktik berkelanjutan, peningkatan citra perusahaan, kemudahan dalam pelaporan, dan inovasi teknologi. Dengan memanfaatkan layanan ini, perusahaan atau individu dapat memastikan bahwa limbah B3 dikelola dengan cara yang aman dan efektif, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Industrialization is an alternative development model needed by a country to spur economic processes. Apart from causing the economy to accelerate, the development of industrialization also has an impact that needs to be watched out for, one of which is the presence of industrial B3 waste. Industrial hazardous waste is one of the potential sources of environmental pollution. Industrial hazardous waste has the potential to pose risks to the environment and health impacts for humans. Industrial hazardous waste management is closely related to health and environmental aspects. Realizing the many problems related to B3 waste management from industrialization activities, it is necessary to renew the concepts of B3 waste management which are comprehensive, integrated, and sustainable, as well as making careful and practical programs by stakeholders to reduce the potential impact of exposure to B3 waste to humans and the environment. This research is a literature review that discusses the current state of industrial hazardous waste management and the potential impact of industrial hazardous waste on health and the environment.
1. Norini, Afrzal. Peran Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau Dalma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Limbah B3 di Kota Batam. J Ilmu Pemerintah. 2017;1(2):153-165. 2. Setiawan TH, Purwanto P. The Management Of Toxic and Hazardous Waste Materials In The Food Industry. J Technol Cult Soc Waste Manag. 2018:1-5. doi:10.1051/e3sconf/20187307020 3. Widyatmoko H. Management of Hazardous Waste in Indonesia. J Earth Enviromental Sci. 2018;106. doi:10.1088/1755-1315/106/1/012032 4. Nurlani M. Pengelolaan Lingkungan Hidup Akibat Limbah Industri Ditinjau Dari Sektor Hukum, Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia. J Thengkyang. 2019;2(1):64-84. 5. Kurniawan B. Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Indonesia dan Tantangannya. J Din Gov. 2019;9(1):39-49. 6. Li W, Achal V. Science of the Total Environment Environmental and health impacts due to e-waste disposal in China – A review. Sci Total Environ. 2020;737:139745. doi:10.1016/j.scitotenv.2020.139745 7. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Indonesia; 2021. 8. Oktarinasari E, Yusuf M, Arief T. Kajian Pengelolaan Limbah B3 Hasil dari Kegiatan Pertambangan Batubara. J Pertamb. 2019;3(4):52-58. 9. Utami K, Syafrudin S. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) Studi Kasus PT. Holcim Indonesia, Tbk Narogong Plant. J Presipitasi Media Komun dan Pengemb Tek Lingkung. 2018;15(2):127-132. doi:10.14710/presipitasi.v15i2.127-132 10. Nuruddin AW, Suwardana H, Kalista A, Wicaksono N. Studi Literatur: Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah B3 (Oli Bekas). Pros Semin Nas Penelit dan Pengabdi Masy. 2020;5(1):108-112. 11. Mulyani. Pengawasan Limbah Industri Perusahaan Kelapa Sawit di Kabupaten Pelalawan. J JOM FISIP. 2016;3(2):1-17. 12. Nasir M. PROBLEM MANAJEMEN LINGKUNGAN DAN ISU INDUSTRIALISASI. 2011:163-172. 13. Akpan VE, Olukanni DO. Hazardous Waste Management : An African Overview. J Recycl. 2020. doi:10.3390/recycling5030015 14. Ahirwar R, Tripathi AK. Environmental Nanotechnology, Monitoring & Management E-waste Management : A Review of Recycling Process , Environmental and Occupational Health Hazards , and Potential Solutions. Environ Nanotechnology, Monit Manag. 2021;15(5):100409. doi:10.1016/j.enmm.2020.100409 15. Santoso WY. Legal Aspects in Management of Hazardous and Toxic Waste. J Mimb Huk. 2017;29(2):335-345. 16. Latif M. Kebijakan Hukum Dalam Pengelolaa Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3): Studi Implementasi Pengelolaan Limbah Medis di Rumah Sakit Salatiga. J Indones Law. 2020;1(2):91-117. doi:10.18326/jil.v1i1.91-117 17. Domingo J., Marquès M, Mari M, Schuhmacher M. Adverse Health Effects for Populations Living Near waste Incinerators With Special Attention to Hazardous Waste Incinerators . A Review of The Scientific Literature. Environ Res. 2020;187(4):109631. doi:10.1016/j.envres.2020.109631 18. Alabi O., Ologbonjaye K., Awosolu O, Alalade O. Toxicology and Risk Assessment Public and Environmental Health Effects of Plastic Wastes Disposal : J Toxicol Risk Assess. 2019;5(1):1-13. doi:10.23937/2572-4061.1510021 19. Agarwal R, Chaudhary M, Singh J. Waste Management Initiatives in India for Human Weel Being. Eur Sci J. 2015;(6):105-127. 20. Pertiwi V, Joko T, Dangiran H. Evaluasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah, Semarang. J Kesehat Masy. 2017;5(3):420-430. 21. Nurhidayanti N. Kajian Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) PT. YTK Indonesia. J Ilm Inform. 2019;14(2):93-102. 22. Purwanti AA. Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Rumah Sakit di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. J Kesehat Lingkung. 2018;10(3):291-298. 23. Hasibuan R. Analisis Dampak Limbah/Sampah Rumah Tangga Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup. J Ilm Advokasi. 2016;4(1):42-51. 24. Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah, Non-B3 dan L. Kebijakan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3). http://pslb3.menlhk.go.id/uploads/laporan/1605673004_Statistik PSLB3 2019.pdf. Accessed April 24, 2019. 25. Handayani S. Manajemen Pengelolaan Limbah Industri. J Manag dan Bisnis. 2015;19(2):143-149.
%PDF-1.5
%µµµµ
1 0 obj
<>>>
endobj
2 0 obj
<>
endobj
3 0 obj
<>/ExtGState<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 612 792] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>>
endobj
4 0 obj
<>
stream
xœÅ}Þ4Åâ¦\zž^VÛŸ^~Ý–§ï‹ÕzS4ëjszÑ^5Øô[Y,ËÝ?þá½xõÒûÏÓ'aâ9ã^è%ð›æÜÛ•OŸüë'oóôɋ˧ONacAy—×OŸ0zÌKyòÈK£$€Ž;öëEêjXÒ[Ñ[¦Þ~}úäÏÙïýxöþÞÁßs?š½ñ>¼¾8ƒ—KïüÌOfÐv¿©þKžÑÃ;ÿßÞåïOŸœ(ÿóôÉC`æ,²¼3�ª ô¾wŸ£ (D�=˜{ö‰Ùöyþß;|&$Í‘ çꟑ1Áa‘’ÄÎ+‡ûÄ,ˆ3Ë>g.÷É‚|ro‹F"õ.@è󳇛fYÀlȹdVÎq¹Ïß½úøîW‡Š
ʧ©úßST=?DS§7ú_ÐÃêXJ‡;æQÀBËŽÄa–qâ0…*Lñ#èÉÂ<ˆÛFèˆ*�9ÜNð á?/©•€o}–ÍʵK'n%£K¼bŒì¤‘‡Üá®it5�”>i´Ã sGÇB£Z˜"q�wöö¥wj J_TMSÝÙãÒ_ªªùî¸t
¯˜ƒ?Ž¼8„(c?ÈóÐgqé³²Ðgã(Øô–�ÍØ<È“)¾Š,'€¹ÁX¯iðw‹?5Ág§¾˜�.ñµòç|¶è»Õ)1 c2|`§µþ<žíÖþœ…4÷¶4�W¸ ²
>ƒ›bÔ#ÖV‡`åXj�ä ÃØ`A²ažJ3¼ãMSD–M -Þé{Ô“·/_¿òÂÓ7ÅfåÍÊÍüã…ÿ�š ®ixœ‹¼$çh¾÷aÆðþ�wðó
þ^ûs1» ß#íù ,bè- ¼?Cüëe¼Á½1Ý{îs6{G9´¼ÑÀ½iâ³rŒøíø¬d
T�J�Û@¥mDÀh²}Äôè~>h0iÌ+ÄH½Fz4…H~†¤f0¡ž‚èõpwÇ„$D{˜¤à[Ç<øãxp†[^ôá'*l’êïýy*a;§|<šý´'²é™Ÿ9e‡ØFXÀ%ZìËìPH°û샑‘K|úHìq_iehƒo�#gQñȃŽAðžPº�ÄÄ�@¹¼A^�^Vø¿
Øä%>¬Ññ¢�Uh̯=h½ÁÇ%<µ8¢öÁr7`æŬÀ÷OÞo ìß(ø(f»e…¶^Ž÷@þ…KÐðº)ñßê%6øCO+Ø…àºC�(MgC¼\o¤š!€mé¿„‡z]xf!ƒ�GÌoê#ÅpDX.’ c ^}Be�®DPÀ2R ¯™^N=«qÑ8Ipd±¤gÈÂç,„ÿûŒü[—_\m‰i$,›’yþ@·6FçáÀ”|Ðûd†á †6²|E+¼w-°jWW Ž½€HÇÚ„däA¼ábÊwƒLí“ ŒA,ûüt´�W_²$à±…Â'T�˜c�–ib¢üý^‰o+gØ
HrC+¶GæSØ
êraÅvIt©JºÙ€»üês!Û°4Zná§!Ó…M®#“ï *D ?€
˜ÜÆóC:.¢ãlŒuÆ #ÏÆ GÛK6Д„ ÖŠ'+)Å
£Ÿ5𽦴©Üù¹ä>Ce]‚I¹)à§QìgJ`Þ¬Ñs ç–2¡–ºVh•ä¨N¶~)|¹T‹Õ=¹Lí�ãÒÐ:X[É�¬–ÆmWÜ’o.ð·ÝšxÞ²A>£K*wõº)ȯSï+èEœ¶¬¹A°
‘«NŽé,eÍ2Ò8XþÅtHÅ»b×Qourôæ#IR5¹8O¬¹ÑŸéš\‚µF’Hn0Ȇð-Sþ½b4” ¡Lq‚âi!ëD…£ïÀ"ÇÒä°èŸ,õbÐþ [g•Ø
Áè %yBTî(
ÛDé•;0EB–Òæ!S)ëÈpVæÅI„)cëâL
’ëŸ&ˆœÝrž¥“tlö°FÆÑê. ¦(`“¸ ü/a˜?gó¤. ˆ€ðÂ�”#”ýO~LúöL
Ûý€eß Xì¡·W�ì¤ÉNgíS=D·Él'#ÌŽòYñÏhñ]�ðbÛ',Å-ÐÄÃÈ»ä(+ dE]™Fà`ºü ’X2ÅiðEÖkÉ+Œ“‡xöþЄ\~ðSjx‰WŽ³SA'›Rä¡Û1@Ìà ÏG𼦠w bÓÖè”t�¬¡ŸY£èýís>ÃZ>Êœ‡u!i§����k’`}}FíÈX’J°T˜þFÊ~<û\*à–è;>—8²B—Lú]nŒcÄaq"›+D½”‡®´�èyQÕL£gTïäŸÊ¥þQWè–¾V*•ŸÇ–ºóÛ‚DmT©—zÛb¹·��õÅ÷‰E˜x^²GòrAÜ®4õý…D_ä³í®Z”5¿ˆrІ•Ým¡ o¨5g×ûNVyÈc§rt±X”d® jÚTŒÒl¤Hˆ €‚Ôµ¢ÔÔ¬ûåTÒ _O4PÀûP2ô²å†¢25‡¼Öo‘R�fÂ÷ê†kîD9DÖcîÐþ5LÌdH©$®ãJxDH ?bqOItÂŒ˜‹ŽWªÖ!…– Ú 7b »\)ÂÌ/²
¨exqC3ð�V©Z³&¾–gNšY'z/"ëÑh‘¸=¾Çá�kð¾5óeŒ»YtÐTמ¥`Ô£™00ô˜æŽ%Q–a8haIÓyf%=bÕ�ÆÇg^÷É xápÔýÆÝ£"È d¿ûCéeÕÖÞlèÃ,銃•ÙÇÇ¢kÝVÆZ*URªÛ°T
ª+mÖ¥W]S …í4ã3Ž–ê¼é«¥Ie:x);@»�Ò£µ¢!,r.ZQ ñͪ
Ö5Ù�‰™a.-I…í#Z|ƒsAˆb<ú›Î;IVµr¡ƒ†®�=óžÇ¬QìKÕ,QÙUíêÆ7óú®Ë¦Œ4°X4kñÙ� Êú„ú“Žz½…kõLÁ+Dp5…¹ÒFb—FªÒæƶ(›KS·_úb„0›ðzr=çìO¾“]"é|”ˆ:×¢ÖEDئ‰sÕÝv‡Ü»ñ• «eÒ�×�b‡ñJ9;ìËÃ"ÒRà3¬Ûã06¸÷²X¯i*|0•hJ†P)h9íÇày?ééÛúH,Àûöc,Š]IÚÐê ΆfÞ·2ð_á]hùÆN2ù8SÎ(V‘äÎœ�ôÄ6’Š³kq–�j—·TÀÕ²Ù™y�wFéP=‘¦5‰ ¨²¤Ò0çD:VFs»�¡oK`QMÚ\ÍéÓØmÑfÙï5›oZ�4Ã5ð� ðGÄ0
Øø’Ä^~ Ü”ª˜XóòÆïb^e( ûº,4sÚ;éð¸6{!²66ªrQ4òf…Ékº‘Ý;AY~1Ð*ºq‰–£^´5ÅMFRƈ/ºÝvýR/4ªMt A´žõ0¼Ï=‘²»æÈ£ óVg.½`t΅צTGa
Alnahas, F., Yeboah, P., Fliedel, L., Abdin, A.Y. & Alhareth, K., 2020, Expired medication: Societal, regulatory and ethical aspects of a wasted opportunity, International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(3).
Azzahra, L. & Saptarini, N.M., 2021, ‘Pharmaceutical Industrial Waste Regulation in Five Countries in Asia’, Indonesian Journal of Pharmaceutics, 3(1), 9.
Bansod, H.S. & Deshmukh, P., 2023, ‘Biomedical Waste Management and Its Importance: A Systematic Review’, Cureus.
Bungau, S., Tit, D.M., Fodor, K., Cioca, G., Agop, M., Iovan, C., Cseppento, D.C.N., Bumbu, A. & Bustea, C., 2018, ‘Aspects regarding the pharmaceutical waste management in Romania’, Sustainability (Switzerland), 10(8).
Crisnaningtyas, F. & Vistanty, H., 2016, ‘Pengolahan Limbah Cair Industri Farmasi Formulasi dengan Metode Anaerob-Aerob dan Anaerob-Koagulasi’, Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri, 7(1), 13–22.
Sharma, H.B., Vanapalli, K.R., Cheela, V.S., Ranjan, V.P., Jaglan, A.K., Dubey, B., Goel, S. & Bhattacharya, J., 2020, ‘Challenges, opportunities, and innovations for effective solid waste management during and post COVID-19 pandemic’, Resources, Conservation and Recycling, 162.
Shukla, T., Bajaj, R., Khanna, S., Prakash Pandey, S., Dubey, R. & Upmanyu, N., 2017, ‘Role of Pharmacist in Pharmaceutical Waste Management’, World Journal of Environmental Biosciences, 6(2), 1–13.
Soewanko, V.F., 2018, LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI DI PT INDOFARMA (PERSERO) TBK, Surabaya.
Tóth, A.J., Fózer, D., Mizsey, P., Varbanov, P.S. & Klemeš, J.J., 2022, Physicochemical methods for process wastewater treatment: Powerful tools for circular economy in the chemical industry, Reviews in Chemical Engineering.
Vasudha, V. & Laiju, A.R., 2024, A Sustainable Approach Towards Wastewater Treatment in Pharmaceutical Industry: A Review, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, vol. 1326, Institute of Physics.
Vindrola-Padros, C. & Johnson, G.A., 2020, Rapid Techniques in Qualitative Research: A Critical Review of the Literature, Qualitative Health Research, 30(10), 1596–1604.
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 9 0 R 10 0 R] /MediaBox[ 0 0 595.32 841.92] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ½=ÛnÛH²ïò|¤6M6›·ÁbqâÉÌ$3N6gâ=³@0´DËŒn^‹JÖ‹ýøSU}¥ÈöE" Ùìª®[™³7wM}]Nï¯={Ó4åô¦šy_Î.7·ž]ÞßVgŸÊy½.›z³>û¼»j°é]UΪ»¿ýÍ;û£÷¯×¯Â Ä?yžE^è%EÄÌËyÌ»«^¿úã/Þúõ«óËׯÎ~Ž¼( Bî]^¿~…½C/ò²0(8÷2X¤Þå úýò9óæ[˜Ú›Ó].ï~yýê‹ÿû„ûÕbRøå=þl'§±_zïꯓÓ(õËÝ“ÓÄ÷~…;æïîðéº\RÛåä4C×háþf>‰"¿ÆK§-W“(ñËqôx�?;q]®'z—¿¾~õ,ç_¿`ù14ñÌ^>Z.ÖcAQ¼ ¼$žø3<Ô,âè¨ÃƒåapörÄå149áýJ=HúàPy8%v{(ó«á�¦i�ð$mZ±\âý5ÅPsÄy?XïfO»œ~ñ?n†‡ #r'…‰Ò§èÖÐ�G aQ�;?‹Æƒô©"ᣨˆƒÔJóX�¥^Äp0‚»þË X){˜ÇAÜÅêý$ó?žÄþÇÉòWdO�À¿ ÷«?Qü08è)é=üR£(A-ÖŽ¡µO²bx¨q¤©ìéðð kä¤*g)d,yAF‚e#<¡¨ß¢ÌþÞO¢|éUšá¥]¤Aìß›}Zú¹EIÞþ ÞíÞžMR¶!—7Øà#ÒèäÜÒó(XŠwYb߯ØxJçfÏ7Bç‚o´ Sáá¡ó9ZRÛøÄ!’È…ÏÛ �†÷™à/'¹¿-¯PPj±éF%Ÿ¥p¡òƒø@R’gAâ›BÈ“u�¸¬`ƒ,ÖõÓz‘1a‘_¯éÂÂÐ_ìà¦ðç%pníý,ˆÄ¡[—�ºßz0}F-Tß’’[z3ÐcŸª;€‚ÖS²Þp�ãKuãáÄ汿ÝEÑëŽæö$~¨¥ áT{ &¸!t΃7Gê»Ñ"Pälð˜]Ãs~/á=“ÔA¬èÐ)Èàšß½ó>ì¶ø¸Ù\—¨¾?n<ƒf%ÕÉÃoÀn»Î2PýkxLú’�¤SP8¥èÙ£†eˆxÌ°Ž²÷`%iÛjUÖËH|iS H|/ñþnvS‚ì¬ë0'yþJ½`÷`ºY�xÅ5ÈF0Ca¨äÞØ¢¸,·RÐag])UÅ÷†,; ǘ³�� O:°�³\vvQ®çž¿¾:ýø÷Éañ¾ä[˜bª:)8 ['F©¦U ¼ùV¡å›yáQlé…œqÃφ‡'O]ðŽSYýð(ƒì€÷fxe.xsÐá…H¦î¶Ã/–…a�G.à,dÃC':v.wxqEÿ0/^N|DЩS|þ;‰°Ü£ú†qÕ¶BM:‡4Yƒ£Y8¥(^�/ÇÓœa¸å€÷yxà3;e¶ºU¡Z]U0ÌwƒcC¼�¼ …ã8 ˜“Âcè¡ëHœ+~�Ä ˜•ø)š$XúäÔCྙNA–r)K#è!±p‘÷ã€%ènM¿øñðÔæ¬þåˆÍ£ÖðÞ�¥Aâ ,(ˆ)ú~ ÐØTÃ+ÒKW_¹uÃq‡>¼zä ûž¸¼Ž×Ÿv!ÏIÐóC bp<ððùq|txf»Çì)@…&)žQt=óÄ?Ÿœ¦þçËIêÿwØòÛ±)µÓÈÉùèÇâQzžŒîÒC„§ çh;Ÿ�É�i`YÒAäi£õä4ó«eÝÔ”ŠXSQôä4ÊDÂ�ûx|%¹…Oª»f‡Ã¾îð%0[+ìÄ=ü4˜´ÛÁJ fÌ_! ÜŸÓ$M‰òp�iAÈBÿ–bê‹æ}—ì»,)·Öwq#òòî^æå@ÙÚT0a™¦Á\Òr��X”8—5»è†ëh‘ƒš·“XŒj0uðoÄæj�Fr؇ªÙè�Õ±jØÉcq—Ç‚¤³0#¾Ä‚bôƒ<£ç¥$ ßëÞ Å6ؤt™tw%rPJ cJAN©ïQ*°¬HN /¼Ôžp+‰ÎÂT¶È“[�>rsÞº““Îz$m/#�¥f×ÂÐîÝ#}E¢öÊ£äx¢Qm‹�BXmÓÍKãF¿›iÞlÕ p)JðÖ){E÷Ã#ÃÓ4ô«oC#%YÀ˜iB`iÔႨDm]B²]*!€§OÔ"z¹F‹ÀͽÖsÓ£¥0ˆ‰}=h?,«"ZH¹^ ÒýSj5a`¤´�G¼°E{u+¶"Nº ]iÁ2uE[úŽpºÅ³+îqÄŠôÞD§žP¯`éÝkÙªa“äâLZkIðxa Õ�wA¢Ë�¨¶-BË$ÈðÎꎋëÅË�†j‹�©iœi¢-¶õ ÆßDÈЊúîÔ„â”%>½ÁŸ‹:p'œ6‚ãv=‘ÜcB|Ìó%é+¡Ü IèD-ßâ t/Ɇ^Pii%©D ×MB,DËÌ襹›§èìsw±¬ µzˆò~žø¿VÚ|� R£Þ?pÝÑ‚‰Ôµ¸|{#“XëÅóÄ) àxì‹Â„§=¢5áµ ªok<2©CÓ,ŽÒ J\4œEX .p‚ ;$À ÖÏ¥öR;�'.Ù®¼§â#üD?KÞ_–õêJ³î†ÄZWÕ50 �Ü<é2…’ªc‰m–ôy×] ÷Õ_Ü iv-çm+AdîT5ÝLRkƒ’`‹×Ë{©["K¢oô6žY[;•ÝzÄîšÚØdòsLï¾5t�tFÝbøÛÔbæ%ú\4¯b¾BåòÂðïgJ,°ËJ ›qÑòDo¹Ù¥†‚¡ kO¬kÈH¬Oã¾Ï&<‘§ uUD5å,p囂ò=…¼hª;�i_ðÌéž‹%G iÈ‹b~-Ýþ®¡¢�ØÕVhÓ�v±Nt±oÍh)@L»7‚ÛÂÈèQ‹MÇÖ×TdÛ³z°\CTRï”^Õ«W •þÉÀÌâIä©‹Y—™e(Ç´`í`éhl$!ƒú¦‡=Ç8·<Ç8ï ÑÚœ©Ø›qjöÇÙf¢{øªDIÐöЂ=k©'{øwz]Y;DZq›Þj÷ë!mgY(*Ë %1D~tº÷5•Üj'ÇÄ�ŽA|/2£;ÁüF�ù<ì‹9fÚ·ˆÈ�ˆj=ÝGÜ)ÐUkIé9¦]vé —äß_©ë¾y3Ï?ÖØ[Ä¡hXî/*ñ²zYÂ#•äÛô$’ë1:~a\Ç/,µ-ƒ�¿ÒXñ\‹êª”±“JÎë^BX¢4…#±ž}ÁŒ bSϵCÜ•q ò2°e7 œìŽÞ“Ùw$7ÖlŸ@ÓU“kÓi²�õübèU³8Ã2LǪ«mC© 2]'„Cf±>‘."ý\¼?Qˆò¸Ý -© Î4'U$“$ß’ÿ@ñ—÷ô♲$yVÂûkõ¦ˆÕžZ’e‡ŸhD½e}ŽúS� _Û9Q$Ók»Vxt£Hj‘†é´-Œ‡e¥c*C»Êv6ÕñØhï…Æ\i’éØfý‡ÑíÂ3¡V§R$ H»7”Æ2-ÌjîÚþ¹&DƒcRk ü[É=1úñóW¾îàïhâ¦XòÔ+N{]¨[ÅÇNŽ¤ZZ®ùž®›feå5öüZÓÓ$@ªå‰t[XÂÏséËk¨©1‡¥\‰ÕÎé»=µQ:ÖÎc,ÇvÐüÑS›ëæÝÌ�ä r`}øˆà+v]gI‡O�´ÿó£`A>Ý7Mëã^ÞîËN³ß‘w€|µ¾N–>Jë+í‘[ùã }o³AÈzê=3S§lfsêhò½Nçé^¸cå¡Ö¥ÐÔ"âáå‘/eôù'½aæX÷é%ÛÜ™Æv(3Bü3zWúiÐ݆‡Ê;_uƒQ‡W];1�Ðþ™ xÆž‚%îð$`]ƒÜ_sð#ü½¡î@ÈI?&�Òäð”^ÎÄ<È�ÖËR0¬wÛ\Ò^òð –Êe§�Çï¡1’¾çJ¸ÐI±Ð¥%Ñ«^nEšs½2.a©bÜje.è%Ó–×t‰þ„œ½11¨èv#�k�Šp~ÌlÔ8-URŽœhÌ�§âÉF«k1 �Ù $úÕ¿›z)®"ƒ¶>¾4EÊpn+Mo„—=ŽCG!Vút^l©kŽá@%ç–E?´«ŠÏ¦”É´2FD;Œ�ítæ*çÐ|ÇylÊ›Y¬Ò€¦Þ 5X›ø» ªŠkMùÓ<÷¯ëJ„«p[äû•b€<®•yŠe=5–x9|=Gœ¥X¬ã 4±{®�2ä$®9Vk>Ÿ¾9£¯�9>mÌ’ sJÚ9~ÝQKÕL¦_ó´#4-.Wß´aU ÙòQÓŒ¬HƒÂÁÄ-ÅòËf;I,]a”ŠS§™ë¥f²1ÿ±S'&ÁiØ L ÀÓ}ôªUôƒÚ-Êlõvet¸ÊʼnHJG FÕ µNí,ŽÖ¬4ÖÚÔÓ¥9&©tXªM‡`¬µš)-£ŠP¦ÄW cû@O”>}>aNG4 œã· ÷™ú]�¢ÔSYH¸Ï…ëå½g;@ú𼳧 q'ÕòйªŒc¨ëXÆq/Ô÷‚ËðÍM8ÃYäçTp6Œ±E/µ…kùHv!‹"Ti™0«v7À–äÚ=3µ—TøQÓÖºO³…Ò„)…¡ÊrÀ>LT±„2§,y–%@�NS€-÷s«bÒFÀ±a ùïzª�ESØ ¤ŒW+Z³õI L‹ç•?mÊx¾UÖD6ÛÔ1º*çî–][´lÛ�WiŽo‹']~·KÇ�$t/*tƒ&TKöNœ‘Nªj¥5øÓ·TŸ>Þ§ÌÖ TGwÜN{+:3,;rÐo„$vø ¸}·DÕ<´Œf#É”„-ú›ƒˆ©9c^¢ ÂTž>&×ø——¥§‰}Ä\.+Z¤òøp$y9&9úŒËƒ¸FI!³a5Õô>o:YÉ3CÆ(Ée@—ÊbALHš#œVŠƒ £~#ÍÔi”š½–ºó 8m~x¥ýƒ`6JÔ¥£¾pµV´QIî"Æ3‚Þq"*"ú¬bç>=kÚß ó e.´²÷Æ-dÔÔûRq™8CÃî@æÙRÏ”E¯¿ÕM]m©æHYª:2¹ÿi*YùBvµõ„ºnн1ç�2ç#?#§+ ”6 LQ©«ö(/?×C%>ïè«b_ ´.Òò/Žûo,úRžiŒ/R;h¼Õ´ÔUZ\aøI_ëꬑ¶øày7ín€©| ì´U.ßʯCcO4œkai¥z£½ó�ˆ[þCÔ)>]ÞoëI¬µW_gáqÖÕ7R“Jïzô)Y£“âöȧdd÷'hW½ˆª†²ã¨Ø/ \©v«rÇŽß±³>áÐk¿uÄ“ (åX¯°/�SQ )ßmÐN¬{ïé̽2W†hÓö‡§:-°_ǦÎÊ°}iòúš´)ãè«sEtýNƒƒtöI!L±)ëÚ8–>Ë”>†ˆˆí"àPr“ä+‚Zt¾ÉZN£§ªÓî�ûˆ]ŸY•g.¼Z8Å�ÕÅÚ�´e-w8o{ÃYÛnUéØëµÞ)Ü£†:½–2ÑYŸçÂ/âÎpž�uë'õqe|½ç•